Selasa, 05 November 2013

Kita, Semeja dan Secangkir Cappuccino

Begini, bagaimana jika kita duduk berdua dalam satu meja dan satu cangkir cappuccino hangat? Satu cangkir saja tak usah dua.

Di meja itu aku akan menceritakan semua mimpi dan harapan yang harus ku wujudkan denganmu.

Harus denganmu, jika bukan denganmu. Berarti itu bukan mimpi dan harapanku. Entah bisa dibilang apa.

Di meja itu aku ingin mendengarkan nasehatmu tentang perilaku dan tata kramaku yang mungkin tak pantas menyandang gelar menjadi wanitamu.

Ketika bersama itu aku akan mendengarkan dan memahami semua apa yang ingin kau bicarakan dan kau katakan padaku. Tanpa sungkan.

Ketika semeja denganku kamu boleh membawaku pada duniamu, dan mengajakku mengitari bulatan cangkir cappuccino yang tanpa ujung dan berujung.

Ketika berdua denganku, kamu boleh menjelaskan apa saja. Termasuk hal kecil dan besar yang mungkin sedang kau tutup di dalam ruang yang bernama hati dan pikiran.

Ketika semeja berdua itu, aku mau kamu juga mendengarkanku, aku tak ingin banyak. Aku hanya mau kamu mendengarkanku seperti ini.

Kamu calon orang pertama dan terpenting dalam keluarga nanti, aku tak ingin calonku masih terlelap dan belum terbangun dari kata yang mana keinginan, kemauan dan prioritas tertinggi.

Kamu adalah seseorang yang harus tegas padaku dan pada dunia ketika mereka sedang tak menurut padamu, bahkan malah mempengaruhimu.

Kamu adalah harapan dari sosok anak sulung dalam suatu sistem yang dinamakan keluarga.

Kamu adalah tonggak yang kuukur dengan skala yang ku ciptakan sendiri, maka kamu juga harus tau dan mau, menjaga semua aset yang ada pada dirimu, kesehatanmu.

Kamu adalah sebagian aku, jika rapuhmu adalah penyakit. Ku pastikan itu penyakit menular yang berstadium tinggi. Karena aku pasti akan ikut terjangkit di dalamnya.

Kamu adalah air dalam gersangnyaa musim kemarau bulan Desember. Jika semangatmu menggebu, ku pastikan air itu sedang membasahi gersangnyaa tandus di Desember kemarau. Segar dan menyenangkan.

Sementara untukku, kamu boleh mengisi titik titik disini lagi. Aku tak banyakkan. Aku sepertinya hanya ingin kamu lebih memahami sekelilingmu saja.

Walaupun aku tau, tentang kerinduan, pertemuan dan sayang yang kadang membuat suatu dinding terkokoh harus tergoyahkan.

Lalu secangkir cappuccino ini? Kenapa tak dua saja, agar kita bisa meminum sendiri-sendiri.

Bukan, maksudku bukan itu.

Lihat secangkir cappuccino di depan kita, diatas meja dan di hadapan 2 pasang bola mata kita.

Itu hanya secangkir cappuccino.

Kamu meminumnya, selanjutnya aku.

Rasanyaa akan sama bukan?

Jika kamu rasa pahit aku akan merasakannya.

Jika kamu rasa manis aku akan merasakannya.

Jika kamu rasa cappuccino hangat yang pas aku juga merasakannya.

Inilah yang ingin aku angkat dari secangkir cappuccino untuk kita berdua duduk dalam satu meja.

Apapun yang kamu rasakan, aku harus merasakannya.

Jatuh, sakit, perjuangan, kegagalan, bangkit, cinta, sayang, bosan, rapuh, dan semangat tentang kata yang dinamakan ‘kesuksesan’.

Kita berjalan bersama, memperjuangkan cerita tentang naskah yang dinamakan masa depan.

Bukankah takdir ada yang masih bisa dirubah. Dan aku ingin kita membuat naskah takdir kita berdua. Tentang memperjuangkan dan diperjuangkan.

Saling melengkapi, saling mengisi, saling memahami, dan saling menguatkan.

Jadi apa kamu sudah bisa mengerti? Kenapa aku ingin kamu duduk satu meja denganku bersama satu cangkir cappuccino?

Agar kita merasakan perjuangan menikmati cappuccino.

Dari pembuatan, panas dan menunggu menjadi hangat, ditiup dengan tangan menggenggam cangkir. Meminum, lalu melihat cangkir kosong yang telah kita nikmati berdua. Sama rasa dan selamanya

2 komentar:

  1. Jadi apa kamu sudah bisa mengerti? Kenapa aku ingin kamu duduk satu meja denganku bersama satu cangkir cappuccino?
    *Like these words so much.

    BalasHapus