Senin, 19 Agustus 2013

Teruntuk Tuhan



Teruntuk Tuhan,

dalam dekapan petang aku menyisihkan sepertiga malam untuk menemuimu.
Menceritakan semua, apa yang aku rasakan dalam seharian, semingguan, atau sebulanan.
Membagi semua mimpi denganmu, meminta semua yang ku inginkan.
Tak banyak, itu-itu saja, tapi selalu aku ulang dan aku ulang. Lagi dan lagi, setiap doa yang aku panjatkan padaMu.

Tuhan,
kau tak mungkin jika tak tau apa isi hatinya disana. Dan apa perasaanku disini.
Jika Engkau memiliki telefon genggam, aku rela menelfonMu setiap malam.
Aku rela membelikanMu pulsa untuk membalas semua pesanku.
Aku ingin sekali menceritakan dan memintaMu untuk membalas semuanya.

Aku ingin kau memberi tahu padaku, apa perasaan yang sedang dia rasakan hari ini padaku.
Bagaimana keadaannya yang jauh? Apa dia disana juga merindukanku?
Aku ingin sekali semua itu bisa Kau jawab dan membuat aku lega, setidaknya untuk beberapa detik saja.

Tuhan,
ini aku masih dengan doa yang akan terus ku ulang.
Bahkan mungkin jika manusia sepertiku yang mendengarkan doa seperti ini. Dia akan bosan, "Ah, doamu itu-itu saja. Selalu kau ulangi lagi", mungkin manusia akan mengatakannya seperti itu.
Tapi untunglah, Engkau Maha Pendengar yang paling bijaksana.
Kau mampu mendengarkan semua doa yang ku ulang.

Mungkin akan seperti ini ...
Tuhan, jika aku rapuh akan jarak tolong kuatkan aku.
Jika dia rapuh akan jarak tolong ingatkan dia bahwa disini ada aku.
Jika ada pengganti perhatian selain aku, tolong ingatkan dia bahwa ada aku yang menunggu.
Buat dia selalu mengingatku dan merindukanku.
Buat dia selalu menyayangiku.
Lancarkanlah seluruh urusannya dalam menggapai cita demi masa depannya.
Lancarkanlah seluruh urusanku dalam menggapai mimpi demi masa depanku.
Masa depan kami, aku dan dia. Yang kita rencanakan bisa terbangun bersama.
Lancarkanlah semuanya, berikanlah kemudahan kami dalam menggapainya.
Aku selalu tau Engkau maha terbaik yang memberikan segala yang ku pinta dalam waktu.

Tuhan,
Ada dia disetiap doa yang ku panjatkan padamu.
Ada dia disetiap masa depan yang ku lukiskan di hadapanmu.
Ada dia di dalam daftar cerita dan kehidupan yang ingin ku raih.
Ada dia di dalam lubuk hati, dan Engkau tahu itu.
Ada dia dalam mihrab yang bertuliskan “dia akan menjadi imamku”.

Aku bodoh jika nanti akhirnya aku memilih masa depan tapi bukan dengan dia.
Aku bodoh jika nanti harus memilih kehidupan yang bukan dengan dia.
Aku bodoh jika nanti ketika Kau memberiku pengabulan doa tapi aku meninggalkannya.
Aku bodoh jika aku memilih menyayangi orang lain yang selama ini tidak pernah ku sebut dalam doa denganmu.

Tuhan, aku tau Kau takkan pernah bosan. Mendengarkan semua doa yang ku ulang-ulang seperti kaset rusak.
Selalu itu-itu saja.
Tapi yang aku ingin Engkau tahu, sedikit yang ku pinta. Aku ulang kembali dan lagi.
Besar harapanku, Engkau tahu. Dan mau mengabulkannya untukku.

Aku menyayanginya Tuhan.
Sampai detik ku tulis semua harapan.
Dia masih ada di puncak doa tertinggi padaMu.
Tolong jaga perasaan yang ia miliki untukku, lebihkan, kuatkan, ingatkan, jaga dan lindungi agar tak terenggut hati yang lain lagi. Hanya aku dan kumohon masih aku Tuhan.

Selamat malam.
Yang ku impikan ku banggakan menjadi calon imam..

 20 Agustus 2013 , 02.40 WIB
Teruntuk Tuhan

Selasa, 13 Agustus 2013

Selamat Pagi Komandan, Negara Sedang Membutuhkanmu ...



Selamat pagi komandan,

Cara ucap saat kau perkenalkan diri, dada tegap dan jabatan tangan yang kuat.
Tubuh hitam legam seperti habis berterik dibawah mentari berhari-berhari.
Tatapan yang tajam, dan aku bersembunyi di belakang pundak yang kau sebut “Kapten”
Pamitmu dengan mengangkat hormat sampai diatas kepala, lalu berbalik arah.

Ini simpul pertama dari bibirmu setelah ratusan hari aku telah kau temani.
Kau tegas tanpa pilih-pilih, tanpa pengecualian aku pun kau perlakukan seperti ini.
Diluar aspek aku orang yang selalu terdiri dari lima huruf yang terangkai menjadi cinta.
Tak main-main jika aku telah salah, kau kadang membiarkanku menangis tanpa pelukan.

Hormat kusertakan saat aku kau turunkan di depan gerbang pendidikan.
Seragam hijau lurik yang kau kenakan menambah kesan seram dan geram untuk setiap pandangan.
Waktu terasa menegas dan semua menjauh ketika kau mengenakan seragam kebesaran.
Lambaian tangan sampai atas kepala sebagai rasa terimakasih atas kawalanmu.
Kala itu tak ada yang berani “bersiul” kepadaku saat langkah ku kayuh melaju.

Kau beradu cepat dengan waktu, mengetok pintu rumahku.
Menjunjung tas ransel loreng berisikan entah benda-benda yang terasa asing sekali.
Bersama dua orang prajurit lain.
Di depan mereka kau mendekapku.
Dekapan yang kau bilang akan pasti terulang.
Ternyata menjadi dekap terakhir, selama jarak berpaling.
Pamitmu membela Negara, kau dimutasi jauh diperbatasan sana.
Meninggalkan beberapa tetesan airmata.

Kau menaruh topi baret dari atas kepalamu di meja tamu.
Mengumpulkan kata untuk berpamit tugas demi Negara.
Meninggalkan sanak, markas, dan keluarga disini, termasuk aku (cinta).
Dekap dan tegas yang kau berikan, kau harus tetap berlari tak melihat kanan-kiri.

Ku tegarkan hati yang tak pernah berfirasat salah dihadapanmu, mengemban kepercayaanmu.
Hormat dan kepalan tangan diatas kepala yang terakhir ku persembahkan untukmu.
“Siap laksanakan komandan, jaga diri disana, Negara sedang membutuhkanmu”.
Dengan sedikit isak dan tetes butir demi butir dari ujung kelopak mata.
Kecupan manis setelah hormat yang ku hadiahkan untukmu
Berdiri gagah dihadapanku, “Tunggu sampai negara mengembalikanku padamu”.
Dan ini kata terakhir sebelum kau pergi.

Selamat pagi komandan,
Upacara pedang dan seluruh rangkaian yang kau ceritakan.
Gaun hijau bersandingkan seragam kebesaran serta pedang.
Selamat pagi komandan, Negara mengembalikanmu langsung pada Tuhan.

Prajurit dalam tugas..

Jumat, 02 Agustus 2013

Kamu, Aku, Jauh, Kita, Waktu dan Tuhan

Kamu.
Terpisah beratus kilo meter di depanku tapi tak pernah sekali pun terpisah dari ingatanku.
Terjaga seperti peti mati yang melindungi jasadnya dalam kotak berbentuk kayu.
Menghadirkan sejuta kenangan dan memori yang indah dan lekat terpatri.
Memunculkan sejuta angan kapan akan kembali seperti.

Aku,
Seorang kecil yang bertuliskan kemanjaan dan keegoisan.
Penjelma rasa yang kadang berlebihan dan kadang bisa mendewasakan.
Berkutat dengan hal tentang kamu yang menjelma sekecil bakteri dalam denyut berlalu.
Menuliskan namamu pada kertas harian lima kali sehari yang disebut doa.

Jauh.
Menapaki semua ini takkan semudah menali tali menjadi mati.
Waktu yang terbentang bukan sehari dua hari tapi berhari-hari.
Tak ada sapaan hangat pagi, bergandengan dalam hati, memeluk bayangan diri.
Mendoakan dalam kejauhan adalah tugas yang selama ini selalu dijalani.

Kita.
Masih bersama, terjaga dalam diam.
Menjaga dari kehadiran yang tak pernah diinginkan.
Tak boleh berkata menyerah dan terserah pada kata yang dinamakan "Jarak kita"
Kita masih bersama, satu atap dalam genggaman Tuhan.

Waktu.
Biarkan waktu berbicara.
Bukan dengan kata yang bertuliskan nada minor dan mayor.
Bukan dengan lonceng yang terdengar bising dalam telinga.
Tapi dengan ketepatan akan nyata hadir sosok dalam diri, kita.

Tuhan.
Sampaikan jika aku masih menunggu dia pulang, kembali dengan rasa utuh, seperti pertama dulu.
Doaku meliputinya, ada dia di dalam masa depan yang ku perjuangkan.
Jika aku rapuh kuatkan, jika dia rapuh teguhkan, buat kami tak terkikis akan pengganti hati.
Tegar selayaknya karang, hebat selayaknya ombak, dan teguh selayaknya ibu.


Kamu, Aku, Jauh, Kita, Waktu dan Tuhan :')
Menjelmalah dalam sosok diri yang setia seperti kenari.


Kau.. Obat Penenang dalam Kesakauan..

Kau ..
Sosok temaram dalam kegelapan pembawa terang yang hadir menyeruat pemecah kebuntuan..
Hadir sebagai obat penenang bagi penjelma kata yang dinamakan sakau..
Membabi buta menghadirkan nada sebagai kecanduan..
Temaram gelap yang berubah menjadi terang benderang..

Kau..
Sosok patriot, bukan pembela bangsa, pembela raga yang kadang kaku termakan pilu..
Menjadi sebuah pelunak yang melelehkan kebekuan..
Sebuah tungku yang menghangatkan dalam kedinginan..
Menjadi payung teduh dari terik mentari siang..

Kau..
Membawa separuh hati, bukan nyata tapi rasa..
Membawa separuh raga, bukan fisiknya tapi keadaan berdua..
Meninggalkan memori berlabelkan Kenangan, bukan kehadiran tapi keindahan..
Meninggalkan kekuatan untuk bertahan, dari cerca hati yang tak pasti..

Kau..
Raga yang bernyawa masih memuja sampai detik yang akan menjawab keterpisah..
Nadi yang berdetak dalam setiap detik mengumpulkan energi lara yang tak terpilukan..
Bagaimana cara berdiam agar tak ada rasa kerinduan akan tungku penghangat dan payung keteduhan..
Semua tak kusangka nyata, dalam genggaman kau menjadi patri mati dalam jiwa..