Kamis, 16 Januari 2014

Takkan Bersuara Walaupun Sedesah





“Jangan di tanggung sendiri, kamu punya pohon, tanah, langit  dan kamu bisa berbagi dengan mereka. Bukan kamu membiarkan hatimu dan pikir kecilmu itu untuk menanggung semuanya sendiri…” celoteh sebuah senja pada langit gerimis yang hampir menutupnya.

“Tak apa, aku masih sanggup memikulnya walaupun dengan tertatih,” isyaratkan sebuah kekuatan pada cahaya pelan yang disinarkan.

“Tapi ini bukan tertatih lagi, kamu sudah terseok, merangkak, bahkan jika kamu tidak segera membagi rata semuanya. Kamu akan segera tengkurap dan mati diinjak sedang kamu tumpu dalam sendiri, yang rapuh itu, ” desak pada awan-awan yang sudah ingin menggusur matahari senja.

“Aku masih berdiri, tanpa air dari mata. Tanpa keluh. Waktuku tak banyak. Jika aku tak kuat, ku mohon. Jangan ceritakan pada mereka jika aku pernah menumpunya sendiri. Berjanjilah kamu masih setia menjaga apa yang ku pertahankan,” pinta pada sebuah perjanjian.

“Aku tak bisa berjanji jika kerasmu malah membuatmu harus sakit sendiri. AKu tak mau menunggumu mati perlahan,” bantah, tegas.

“Dengarkan aku,
Bagaimana jika begini, ini jalanmu. Kamu yang memilih, tak ada yang ingin menanggung apapun dari kamu. Yakinkan jika kamu bisa sendiri. Yakinkan bahwa kamu takkan ada yang peduli.
Begini, berjanjilah ku mohon berjanjilah, ini semua sebuah cerita. Jika aku tak sanggup. Jangan tertawakan aku. Bantulah aku berdiri. Hanya kuatmulah yang aku harapkan untuk ku punya.
Jika semuanya sudah tak ada yang bisa menaikkan lagi.
Tapi tetaplah berjanji, kamu takkan bersuara walaupun sedesah” terucap sebuah ulangan kata. Bantu aku ketika ku berhenti.