“Jangan di tanggung sendiri, kamu punya pohon, tanah, langit dan kamu bisa berbagi dengan mereka. Bukan kamu membiarkan
hatimu dan pikir kecilmu itu untuk menanggung semuanya sendiri…” celoteh sebuah
senja pada langit gerimis yang hampir menutupnya.
“Tak apa, aku masih sanggup memikulnya walaupun
dengan tertatih,” isyaratkan sebuah kekuatan pada cahaya pelan yang disinarkan.
“Tapi ini bukan tertatih lagi, kamu sudah terseok,
merangkak, bahkan jika kamu tidak segera membagi rata semuanya. Kamu akan
segera tengkurap dan mati diinjak sedang kamu tumpu dalam sendiri,
yang rapuh itu, ” desak pada awan-awan yang sudah ingin menggusur
matahari senja.
“Aku masih berdiri, tanpa air
dari mata. Tanpa keluh. Waktuku tak banyak. Jika aku tak kuat, ku mohon. Jangan
ceritakan pada mereka jika aku pernah menumpunya sendiri. Berjanjilah kamu
masih setia menjaga apa yang ku pertahankan,” pinta pada sebuah perjanjian.
“Aku tak bisa berjanji jika kerasmu malah membuatmu
harus sakit sendiri. AKu tak mau menunggumu mati perlahan,” bantah, tegas.
“Dengarkan aku,
Bagaimana jika begini, ini jalanmu. Kamu yang
memilih, tak ada yang ingin menanggung apapun dari kamu. Yakinkan jika kamu bisa
sendiri. Yakinkan bahwa kamu takkan ada yang peduli.
Begini, berjanjilah ku mohon berjanjilah, ini semua
sebuah cerita. Jika aku tak sanggup. Jangan tertawakan aku. Bantulah aku
berdiri. Hanya kuatmulah yang aku harapkan untuk ku punya.
Jika semuanya sudah tak ada yang bisa menaikkan lagi.
Tapi tetaplah berjanji, kamu takkan bersuara walaupun sedesah” terucap sebuah
ulangan kata. Bantu aku ketika ku berhenti.