Senin, 30 Desember 2013

2013 Skenario Cinta Dari Tuhan



2013 Skenario Cinta Dari Tuhan 

I thank you with every breath I take,
Alhamdulillah
All praises just to Allah All praises just to Allah, ” – Maher Zhain Thank You Allah

Terimakasih Tuhan, untuk scenario cinta yang tercurahkan yang Kau rajut, Kau tulis dan Kau gariskan untukku dengan segala kuat dan tangguh yang berikan.
Menginjak di usia 19 tahun pada dua ribu tiga belas ini. Dengan segala cerita yang ada di dalamnya. Persahabatan, cinta, hobby, suka duka dan segalanya yang berates namakan diriku.  “Terimakasih” sepenggal kata yang selalu ingin ku ulang. Untuk semua, semua yang sudah ku dapatkan di tahun ini.

Tentang ragu yang sudah terbayarkan tuntas dengan cinta baru yang Kau berikan untukku dengan segala pinta yang dulu selalu ku ulang setiap waktu. Kau Maha tau apa yang terbaik untukku. Jika kadang yang aku inginkan untuk aku perjuangkan bukan yang aku butuhkan untuk menemani hidupku. Terimakasih telah mengirimkan lelaki dewasa sepertinya yang mampu membawaku menggapai beberapa harapan sebagai semangat dan tolak ukur yang ku perjuangkan.

Kepada kamu lelaki Tuhan yang di kirimkan untuk menuntunku … Terimakasihku untukmu …

Tentang sebuah panggung yang dinamakan pertemanan dalam sebuah blok blok sandiwara. Pengiriman terbaik Tuhan dalam pembuktian mana yang bertuluskan teman dan berlabelkan drama dibaliknya. Hanya sebuah jalan yang di namakan drama tanpa tau asal usul pelakunya. Tanpa memandang siapa yang berbicara dan memberikan kata. Jika tak suka bicaralah, jika tak tau diamlah. Maka penghargaan juga akan di dapatkan tanpa celaan.

Kepada panggung ketulusan bernamakan pertemanan dan persahabatan … Terimakasih untuk pengajaran dunia ketulusan …

Tentang sebuah tangis yang gugur karena kebahagiaan yang ku temukan dalam balutan pelukan orang tua. Padanya aku menitipkan beberapa cita-cita yang harus ku perjuangkan di depan mata tua yang ku temukan setiap harinya. “Jadilah orang yang berguna, yakinlah jika apa yang kamu perjuangkan akan di berikan kekuatan oleh Tuhan,” sepenggal kalimat yang takkan pernah ku lupakan.

Kepada mamah ayah, terimakasih telah memberikan kekuatan begitu indah.. Terimakasih untuk 
kekuatan doa yang diberikan …

Tentang sebuah hobby yang mengantarkan pada pertemuan cinta yang begitu membahagiakan. Tempat tempat dimana cinta dan loyalitas selalu ku lihat nyata pada tiap-tiap kepala. Untuk tempat baru bernamakan stadion sepakbola yang baru ku datangi di tahun ini. Dua ribu empat belas aku berjanji akan kembali lagi.

Kepada Persija Jakarta tercinta, jarak takkan berhalang jika aku masih bisa mencintaimu dari kejauhan … Terimakasih untuk hiburan yang tercurahkan …

Tentang cita-cita yang dulu hanya ku tuliskan kini sedang ku jalankan. Untuk kesempatan yang takkan pernah ku sia-siakan. Pada setiap coretan mimpi yang tahun ini belum semuanyaa terbayarkan dengan tuntas dan lunas. Untuk resolusi baru yang akan ku rajut, ku mohon semuanyaa akan bisa ku gapai kembali.

Kepada cita-cita dan resolusi yang sudah sebagian ku penuhi di tahun ini… Terimakasih untuk beberapa yang sudah terwujudkan …

Tentang keluarga baru dari jauh yang ku dapatkan, kasih sayang yang aku rasakan, dan semua hal indah selama aku bersama yang tersiratkan. Aku menyayangi kalian.
Kepada keluarga baru yang sudah ku buatkan singgasana pribadi di hati… Terimakasih untuk waktu yang sudah pernah terlewatkan…

Bahagia, suka, cinta, tawa, duka, tangis, sedih, persahabatan, pengkhianatan dan perjuangan di tahun ini. Terimakasih telah menguatkan aku untuk menatap tahun depan lebih baik lagi.
Dua ribu tiga belas, scenario cinta dari Tuhan …

Malang, 31 Desember 2013
Dea Amelia 19Th

Rabu, 18 Desember 2013

Selamat Siang Stasiun Pasar Senin



Selamat Siang Stasiun Pasar Senin

“Kita sholat sendiri-sendiri yaa, sudah terlalu siang. Aku takut jalanan macet dan kita datang terlambat.” Ucapmu yang terlihat tergesa membunuh waktu.

“Iya, setelah sholat aku siap-siap dulu.” Jawabku yang sudah terbasuk air wudhu.

Siang ini, tepat pukul 12.00 kita bergegas untuk segera melaju dari rumah mungilmu yang sudah beberapa hari ku huni. Di kamar ini sudah terajut tawa yang suatu saat harus ku ulangi untuk datang kembali. Pertemuan kita kali ini tidak seperti pertemuan-pertemuan kita sebelumnya. Kali ini aku yang datang menemuimu di kotamu, setelah beberapa kali kamu datang menemuiku di kota kecilku.

Semua perasaan siang ini terajut seperti begitu drama, perasaan campur aduk. Ada rasa tak ingin kembali kesana, hanya ingin berdua denganmu dan keluarga kecil yang sudah terlanjur aku cinta. Tapi Sembilan ratus empat puluh dua kilometer dari tempat ini, keluarga dan kewajibanku sedang membutuhkanku dan menungguku. Apapun alasanku, waktuku belum tepat untuk berada disini denganmu. Mungkin nanti, beberapa tahun lagi yang tidak akan membuat aku terpisah denganmu menempuh jarak kembali.

Ahh, sudah aku akan beranjak dari tempat ini. Langkah kaki terasa berat sekali. Semua sudah siap. Waktu benar-benar mengharuskan aku untuk segera menempuh perjalanan lagi.

Mamah bapak dan gadis kecil keluarga ini, terimakasih untuk beberapa hari disini. Mau aku repotkan dan aku susahi. Keluarga baru yang aku dapatkan dari jauh, semoga kita bisa berjumpa lagi.

“Aku pulang ya, kamu cepet selesaikan studynya. Nanti kita ketemu lagi kalo abang sudah selesai study.” Pamitku dalam perjalanan menuju stasiun kereta api.

Sejauh ini rasaku biasa saja, bahkan aku tak merasakan sedih yang terlalu. Berbeda ketika aku harus melihat kamu menjauh di stasiun kota kecilku.
Mengantarkanmu di tempat itu dari berangkat berdua menjadi pulang sendiri.
Ahh semuanyaa kadang terlampau begitu indah tentang bentang jarak pada scenario Tuhan.

“Aku sedih deh,” Ucapmu seperti ingin menahanku untuk tetap disini.
“Sedih kenapa? Sudahlah aku saja bahagia seperti ini. Terimakasih ya untuk beberapa hari sudah membuatku bahagia,” Kelakku tak ingin terlihat sedih juga di depanmu.

Yang aku tau wajahmu berbeda. Berbeda tidak seperti jika kamu mengunjungi kotaku. Menemui aku yang terhujam rindu di sudut kecil kota bunga ini.
Kamu berubah menjadi pendiam pada waktu yang tak tepat. Aku tak ingin meninggalkanmu disini dengan raut wajah yang seperti ini.

“Kamu jangan nakal yaa. Kamu kapan ke kota aku lagi? Kita masih punya acara berlibur lagi kan?” tanyaku sedikit ingin mencairkan suasana di depan stasiun Pasar Senin.
“Secepatnya ya aku kesana. Kamu tunggu aku, jangan endel disana,” Jawabmu tak bisa menatap mataku.
“Iya, abang cepat selesai studynyaa ya. Aku tunggu disana. Jangan sedih gitu ah mukanya. Aku ajaa seneng gini,” Semoga kamu tidak melihat rona tak ingin pergi dari mataku.
“Nggak lah, ngapain sedih. Kamu mau masuk sekarang?” ucapmu mengalihkan perhatianku.
“Sebentar lagi aja.”

Tangan ini sepertinyaa berat sekali untuk melepasnya dari rangkulan lenganmu.
Meninggalkan kota panas yang dingin karena ada kamu didalamnya.
Meninggalkan kota yang mengenalkanku pada cinta pada sepak bola.
Meninggalkan kembali kita akan sebuah jarak, dan memulai kehidupan seperti biasanya kembali.
Meninggalkan keluarga kecil yang baru ku kenal dalam hitungan hari tapi sudah kucintai.

Tuhan maha baik,
“Kamu jangan nakal ya disini, kalo aku udah masuk abang langsung pulang aja,” ucapku lirih padamu.
“Iya, kamu ati-ati barangnya. Hati-hati di jalan ya,” Iya kamu mengucapkannya lagi.

Sudah waktunya aku pulang kembali.
Jika nanti aku rapuh dalam bentangan jarak, aku akan mengingat bagaimana kita bisa bersama. Bagaimana Tuhan mengirimkanku untuk menemuimu di kota ini.
Bagaimana Tuhan maha baik mengabarkan pada semesta jika kita adalah sepasang yang terpisah untuk kembali bersama.

Masih ingat begitu lekat pertemuan beberapa hari yang lalu di terminal 3 soekarno hatta.

Sampaikan pada keluarga kecil yang baru ku kenal dengan penuh cinta.

Pesan singkat yang mereka kirimkan ketika aku berada di kereta sudah membuat butir-butir air ini mengalir tanpa malu menghujam wajah.


Sepucuk surat untuk orang tercinta, terimakasih untuk ibadah subuh bersama bapak mamah dan kasih sayang yang tercurah.


Malang, 08 Desember 2013

Selasa, 17 Desember 2013

Soekarno Hatta, 6 Desember 2013, 01.05 WIB



Soekarno Hatta, 6 Desember 2013,  01.05 WIB

Sebuah usang lama tentang rindu yang kentara
Kamu memutuskan untuk menunggu lebih awal dari biasanya
Tempat yang baru pertama kali ku pijak dengan kaki
Untuk menemuimu kekasih

Kelenjar membisu
Degup semakin mengadu
Hitungan jam yang lalu
Kini tinggal menit dan detik yang akan menyapamu

Mata yang masih terus mencari
Tak menemukan sosokmu
Ponsel yang terangkat untuk menanyakan keberadaan diri
Kamu bilang merah jaketmu menjemputku

Dari arahku berdiri kamu menyuruhku berjalan ke kanan tempat ini
Empat langkah diriku berlalu
Tarikan tanganmu memegangku
Dan rindu bertuan pelukan bertemu

Rabu, 11 Desember 2013

Surabaya, 5 Desember 2013 , 22.50 WIB



Surabaya, 5 Desember 2013 , 22.50 WIB

Kemelut sepanjang hari dari mentari sampai senja menampakkan diri
Gelap menyelimuti perjalanan dari ujung timur ke barat pulau jawa ini
Detik dan detik dirasa begitu sangat mendebarkan hati

Sayang, beberapa waktu lagi
Mata akan saling memandang dalam temu
Tangan akan melingkar di lenganmu
 Dahi akan menemukan kecupanmu

Ku titipkan pada sebuah tempat yang akan sering ku tempati
Sepucuk surat rindu yang memuncak akan temu
Dan sepucuk enggan pisah ketika temu telah mengadu
Tunnggu aku, pada tempat dan rindumu

Tertanda,
Pekerja perindumu