Teruntuk Yang Membawa Diri Pergi Bersama Roda Besi
Percikan dinar dalam acuan mata rantai yang terselip.
Hati yang terus meracuni nada, dan cerita menjadi saksi.
Menyapa bukan lagi dengan sapaan gemuning mata teratai yang
mengembang.
Memunculkan celah percakapan cerita yang dirancang berbataskan
waktu.
Ketikan pesan melalui benda yang bisa menembus ribuan kilometer.
Seketika menjadi jabatan dan sapaan “Aku kamu”.
Bukan tertuliskan akan dihadirkan dan menjadi scenario ketika di
datangkan.
Perjalanan yang tak pernah direncanakan.
Tatapan dan cerita ini, bukan lusa esok dan waktu lalu yang
terlewati.
Mencoba menata puzzle menjadi hologram yang berkilau dan
menyilau.
Mengalir hingga tak ada kata tersemat, berlutiskan nada menjalin
dan terangkai.
Terlalu singkat atau memang tak ada keabadian dalam dekapan.
Menjadi korban atas tersangka keotoriteran waktu.
Meninggalkan jejak yang tersulang di dalam tempat bertuliskan
“Ruang Tunggu”.
Tengok saja ketika senja menunggu petang dan telalap kegelapan,
dia diam.
Bicarakan petang yang tergeser terang menjadi cahaya penerangan,
menyejukkan.
Tak pernah ada waktu yang abadi ada di dalam cerita perputaran
yang Dia miliki.
Fana, rasa, cerita, cinta, hati, cahaya, indah, hawa, jarak,
waktu dan dekapan, bagaimana?
Adakah yang tertinggal di dalam kota mungil pemberi lukisan
kehidupan?
Deru jalanan menjadi pembahasan yang mengalihkan perhatian.
Tatapan pertemuan dan cerita bukan lagi tentang gundah.
Menemani kesendirian dalam ruang yang terbalut kasih kerinduan.
Menunggu lagi di ruang yang sama hingga “jarak” menjadi “dekapan”.
Waktu telah menyadarkan bahwa dunia bukan sebatas satu kilometer
di depanmu.
Dan sepuluh langkah di belakangmu.
Cerita, datang lagi ketika roda besi membawamu kembali.
-
T. Ardy –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar