Selamat Siang Stasiun Pasar Senin
“Kita sholat sendiri-sendiri yaa, sudah terlalu
siang. Aku takut jalanan macet dan kita datang terlambat.” Ucapmu yang terlihat
tergesa membunuh waktu.
“Iya, setelah sholat aku siap-siap dulu.” Jawabku
yang sudah terbasuk air wudhu.
Siang ini, tepat pukul 12.00 kita bergegas untuk
segera melaju dari rumah mungilmu yang sudah beberapa hari ku huni. Di kamar
ini sudah terajut tawa yang suatu saat harus ku ulangi untuk datang kembali.
Pertemuan kita kali ini tidak seperti pertemuan-pertemuan kita sebelumnya. Kali
ini aku yang datang menemuimu di kotamu, setelah beberapa kali kamu datang
menemuiku di kota kecilku.
Semua perasaan siang ini terajut seperti begitu
drama, perasaan campur aduk. Ada rasa tak ingin kembali kesana, hanya ingin
berdua denganmu dan keluarga kecil yang sudah terlanjur aku cinta. Tapi
Sembilan ratus empat puluh dua kilometer dari tempat ini, keluarga dan
kewajibanku sedang membutuhkanku dan menungguku. Apapun alasanku, waktuku
belum tepat untuk berada disini denganmu. Mungkin nanti, beberapa tahun lagi
yang tidak akan membuat aku terpisah denganmu menempuh jarak kembali.
Ahh, sudah aku akan beranjak dari tempat ini.
Langkah kaki terasa berat sekali. Semua sudah siap. Waktu benar-benar
mengharuskan aku untuk segera menempuh perjalanan lagi.
Mamah bapak dan gadis kecil keluarga ini,
terimakasih untuk beberapa hari disini. Mau aku repotkan dan aku susahi.
Keluarga baru yang aku dapatkan dari jauh, semoga kita bisa berjumpa lagi.
“Aku pulang ya, kamu cepet selesaikan studynya.
Nanti kita ketemu lagi kalo abang sudah selesai study.” Pamitku dalam
perjalanan menuju stasiun kereta api.
Sejauh ini rasaku biasa saja, bahkan aku tak
merasakan sedih yang terlalu. Berbeda ketika aku harus melihat kamu menjauh di
stasiun kota kecilku.
Mengantarkanmu di tempat itu dari berangkat berdua
menjadi pulang sendiri.
Ahh semuanyaa kadang terlampau begitu indah tentang
bentang jarak pada scenario Tuhan.
“Aku sedih deh,” Ucapmu seperti ingin menahanku
untuk tetap disini.
“Sedih kenapa? Sudahlah aku saja bahagia seperti
ini. Terimakasih ya untuk beberapa hari sudah membuatku bahagia,” Kelakku tak
ingin terlihat sedih juga di depanmu.
Yang aku tau wajahmu berbeda. Berbeda tidak seperti
jika kamu mengunjungi kotaku. Menemui aku yang terhujam rindu di sudut kecil
kota bunga ini.
Kamu berubah menjadi pendiam pada waktu yang tak
tepat. Aku tak ingin meninggalkanmu disini dengan raut wajah yang seperti ini.
“Kamu jangan nakal yaa. Kamu kapan ke kota aku lagi?
Kita masih punya acara berlibur lagi kan?” tanyaku sedikit ingin mencairkan suasana
di depan stasiun Pasar Senin.
“Secepatnya ya aku kesana. Kamu tunggu aku, jangan
endel disana,” Jawabmu tak bisa menatap mataku.
“Iya, abang cepat selesai studynyaa ya. Aku tunggu
disana. Jangan sedih gitu ah mukanya. Aku ajaa seneng gini,” Semoga kamu tidak
melihat rona tak ingin pergi dari mataku.
“Nggak lah, ngapain sedih. Kamu mau masuk sekarang?”
ucapmu mengalihkan perhatianku.
“Sebentar lagi aja.”
Tangan ini sepertinyaa berat sekali untuk melepasnya
dari rangkulan lenganmu.
Meninggalkan kota panas yang dingin karena ada kamu
didalamnya.
Meninggalkan kota yang mengenalkanku pada cinta pada
sepak bola.
Meninggalkan kembali kita akan sebuah jarak, dan
memulai kehidupan seperti biasanya kembali.
Meninggalkan keluarga kecil yang baru ku kenal dalam
hitungan hari tapi sudah kucintai.
Tuhan maha baik,
“Kamu jangan nakal ya disini, kalo aku udah masuk
abang langsung pulang aja,” ucapku lirih padamu.
“Iya, kamu ati-ati barangnya. Hati-hati di jalan ya,”
Iya kamu mengucapkannya lagi.
Sudah waktunya aku pulang kembali.
Jika nanti aku rapuh dalam bentangan jarak, aku akan
mengingat bagaimana kita bisa bersama. Bagaimana Tuhan mengirimkanku untuk
menemuimu di kota ini.
Bagaimana Tuhan maha baik mengabarkan pada semesta
jika kita adalah sepasang yang terpisah untuk kembali bersama.
Masih ingat begitu lekat pertemuan beberapa hari
yang lalu di terminal 3 soekarno hatta.
Sampaikan pada keluarga kecil yang baru ku kenal
dengan penuh cinta.
Pesan singkat yang mereka kirimkan ketika aku berada
di kereta sudah membuat butir-butir air ini mengalir tanpa malu menghujam wajah.
Sepucuk surat untuk orang tercinta, terimakasih
untuk ibadah subuh bersama bapak mamah dan kasih sayang yang tercurah.
Malang, 08 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar